Jawa timur
dalam satu dekade sudah melaksanakan dua kali pemilihan gubernur dan wakil
gubernur tahun 2008 dan 2013. Meskipun sudah dua kali terjadi pemilihan
gubernur tetapi angka golput masih tergolong tinggi, di tahun 2013 angka
Golput mencapai 36,62% dari daftar
pemilih yang telah terdaftar di KPU Jatim. Hal ini sedikit menurun di
bandingkan angka golput di tahun 2008 yang mencapai 48%.
Kata golput
(golongan putih) sebenarnya bermakna tidak memilih dalam pemilu dengan berbagai
faktor alasan. Sebenarnya fenomena golput sudah terjadi pada pemilu
pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan
atau kurangnya informasi tentang penyelengaraan pemilu. Sedangkan di era Orde
Baru, golput lebih diartikan sebagai gerakan moral untuk memprotes penerapan
sistem pemilu yang tidak demokratis oleh penguasa saat itu.
Dalam kajian
perilaku pemilih hanya terdapat dua konsep utama, yaitu perilaku memilih dan
perilaku tidak memilih (Golput). Menurut David moon ada dua pendekatan teoritik
utama dalam menjelaskan perilaku tidak memilih (golput) yang pertama menekankan
pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional
sistem pemilu, kedua penekanan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan
kerugian atas keputusan mereka hadir dan tidak hadir memilih.[1]
Istilah golput
muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman orde baru tahun 1971.
Pemakarsa sikap untuk tidak memilih pada masa itu antara lain Arief Budiman,
Julius Usman dan Imam maluyo Sumadi. langkah mereka didasari bahwa aturan
demokrasi tidak ditegakkan, cenderung di injak-injak.[2]
Sikap
orang-orang golput di pengaruhi banyak faktor mulai dari faktor kelaleian/ketidak
sengajaan dan faktor kesengajaan yang mendorong untuk tidak memilih bila hal
ini di lihat lebih jauh sikap golput dapat dilihat dari berbagai sudut pandang
dan menghasilkan beberapa perspektif. Bila di lihat dalam segi hukum sebenarnya
golput tidak dibenarkan dalam pemilu karena
pemilu adalah sarana untuk mewujudkan pemerintahan yang demokrasi hal
ini juga di dukung oleh UUD namun demikian golput juga tidak dilarang dalam UU.
Dalam konsideran UU
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, point menimbang
huruf b disebutkan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan
sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang
demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.[3] Memang partisipasi politik setiap warga negara dipandang dari aspek
individu untuk memberikan suara politik dalam pemilihan umum merupakan hak
warga negara, yang dijamin oleh konstitusi; bukan suatu kewajiban. Pasal 28 D
(3) UUD RI Tahun 1945 menyatakan bahwa ”setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Jadi golput menurut konstitusi dapat
diartikan tidak dipermasalahkan karena dalam konstitusi hanya mengatur tentang hak
warga negara memperoleh hak yang sama dalam proses pemilu tetapi tidak
mewajibkan untuk menyalurkan aspirasinya, tidak ada unsur yang mewajibkan dalam
proses pemungutan suara. Tetapi meskipun demikian konstitusi juga menganjurkan
warga negara untuk menyalurkan
aspirasinya karena bila masyarakat menyalurkan aspirasinya maka warga negara sudah
ikut serta dalam mewujudkan demokrasi dan ikut serta dalam pembangunan negara
dalam segi pemerintahan.
Masyarakat seharusnya dalam memaknai
anjuran konstitusi pemilu, harus lebih bijaksana meskipun tidak ada larangan
golput tetapi masyarakat harus sadar bahwa pemilu bukanlah hanya kepentingan
suatu golongan atau kepentingan calon yang akan di pilih tetapi pemilu menentukan
siapa yang akan menyalurkan aspirasi rakyat dan siapa yang akan memimpin rakyat
dalam kurun waktu yang telah di tentukan oleh konstitusi.
Kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya menyalurkan aspirasi dan kurang mengertinya masyarakat dalam proses
pemilu yang memicu munculnya angka golput dalam setiap pemilu.kurangnya
sosialisasi tentang pemilu dan dasar hukum pemilu juga membuat masyarakat acuh
tak acuh dalam perhelatan pemilu.
Golput sangat merugikan bila dilihat dari
segi yang mencalonkan karena suara masyarakat yang tidak menyalurkan
aspirasinya alias golput sangat
mempengaruhi dalam pemerolehan suara dalam pemilu. Suara satu dari pemilih
sangat menentukan kemenangan suatu calon
maka golput juga dapat menentukan kemenangan suatu calon dalam perebutan
kursi jabatan.
Untuk meminimalisir golput seharusnya calon
(peserta pemilu) harus bisa meyakinkan masyarakat luas untuk memilihnya dan
memberikan langkah kongkret untuk menarik para pemilih untuk memilih dari pada
golput. Jika masyarakat dapat diyakinkan untuk menyalurkan hak pilihnya maka
calon (peserta pemilu) akan memperoleh suara semaksimal mungkin sehingga pemilu
akan lebih terasa dan pesta demokrasi
benar-benar dapat dirasakan oleh semua anggota masyarakat.
Golput disamping merugikan calon peserta
pemilu juga merugikan KPU karena membuang kertas suara, yang berimbas pada
pemborosan anggaran pemilu. KPU juga dirugikan bila masyarakat tidak datang ke
TPS,dan juga merugikan penyelengara karena telah menyiapkan tempat untuk
menyalurkan aspirasinya tetapi tidak digunakan
secara maksimal.
Golput selain dipicu oleh perseorangan
tetapi juga bisa dipengaruhi oleh kesemerawutan DPT atau tidak tercantumnya
warga masyaratat pada DPT yang mengakibatkan masyarakat kehilangan hak pilihnya
sehingga masyarakat yang seharusnya mempunyai hak pilih menjadi tidak mempunyai
hak pilih. Meskipun sekarang kebijakan KPU memperbolehkan seseorang yang tidak
tercantum pada DPT, tetapi mempunyai KTP dapat menyalurkan hak pilihnya dengan
syarat menunjukan KTP pada petugas TPS. Tetapi banyak masyarakat yang belum
mengetahuinya karena minimnya sosialisasi dari petugas kepada masyarakat luas.
Perbuatan yang dipertontonkan para pejabat
dan elit politik di negeri ini menimbulkan rasa sakit hati terhadap masyarakat.
Sebab pada saat pemilihan, masyarakat telah menaruh kepercayaan sepenuhnya
kepada mereka, masyarakat berharap dengan terpilihnya orang-orang yang mereka
percayai. Kelak masyarakat akan sedikit
terbantu dan tertolong dalam mengatasi berbagai masalah persoalan, namun kecewaan
yang mereka dapatkan sehingga masyarakat kehilangan rasa kepercayaan pada
pemimpin negeri dan lebih memilih golput pada pemilu berikutnya. Masyarakat
membutuhkan pemimpin yang dapat dipercaya bukan pemipin yang membuat masyarakat
kecewa dan berimbas pada krisis kepercayaan pada perhelatan akbar demokrasi
yang di angab oleh kalangan masyarakat (golput) sebagai ajang pencari jabatan
bukan ajang penyalur aspirasi rakyat.
Ada tiga faktor utama yang menyebabkan
tingginya angka golput dalam Pilgub Jawa Timur 2013-2018 yaitu:
1. Kurangnya sosialisasi tentang pilgub jawa
timur
Kurangnya sosialisasi dapat dikatakan karena masih
banyak angka golput di wilayah jawa timur, seperti di jember.
“Ketua Panitia Pengawas Pemilu Jember,
Dima Akhyar, mengatakan tinginya angka golput itu lebih banyak disebabkan
minimnya sosialisasi yang dilakukan KPU, PPK, hingga PPS sebelum pemilihan.
Selain itu, kata dia, distribusi surat undang memilih kepada masyarakat tidak
maksimal. "Warga di daerah pedesaan banyak yang tidak tahu pilgub, dan
mereka juga tidak tahu bahwa tanpa surat undangan mencoblos bisa dengan KTP dan
KK," kata dia”.[4]
2. Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan
ekonomi.
Mayoritas masyarakat lebih mementingkan bekerja
daripada datang ke TPS memberikan suaranya, karena faktor ekonomi dimana
masyarakat lebih memilih bekerja dari pada hilang penghasilanya karena datang
ke TPS dan tidak mendapatkan apa-apa dari TPS, sementara kebutuhan ekonomi
keluarga semakin banyak.
3. Sikap apatisme terhadap pemilihan Gubernur.
Masyarakat banyak menganggap bahwa dengan dilaksanakannya pilgub tidak akan
membawa perubahan apapun terhadap provinsi maupun terhadap kehidupan mereka.
Menurut mereka perhelatan pilgub Jawa Timur hanya sebuah rutinitas politik dan
hanya perebutan kekuasaan antar para elite politik Jawa Timur sehingga mereka
acuh tak acuh diadakanya atau tidak diadakanya pilgub Jatim karena di pilgub
tidak dapat menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
Untuk
lebih singkatnya masalah diatas juga di sebut dengan masalah Administratif,
masalah teknis, masalah rendahnya partisipasi/ketertarikan akan politik yang
menyebabkan masyarakat memilih untuk Golput dari pada menyalurkan aspirasinya
dengan datang ke TPS yang telah disediakan.
Banyak
cara yang digunakan masyarakat dalam golput, salah satunya menurut pendapat
Arbi Sanit[5] golput
dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pertama, menusuk lebih dari satu
gambar. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi
kotak suara dengan berdasarkan untuk tidak mengunakan hak pilih.
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan perilaku golput dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Tidak hanya tidak datang ke tempat pemungutasn suara saja tetapi
golput juga dapat terjadi meskipun datang ketempat pemungutan suara (TPS). Masyarakat
yang datang tetapi surat suaranya tidak sah karena tidak memenuhi ke absahan
surat suara yang telah di tetapkan oleh KPU. Masyarakat ini bertipe menghormati
adanya pesta demokrasi tetapi mereka tidak ingin menyalurkan aspirasinya karena
berbagai alasan seperti ketidak puasan akan calon yang diusung.
Di
pilgub Jatim juga banyak terdapat surat suara yang tidak sah tercatat bahwa ada sekitar 16. 390 suara tidak sah dibandingkan
dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang mencapai 1,726 juta penduduk Jawa
Timur. Sarat suara yang tidak sah sama halnya dengan golput karena suara yang
mereka berikan tidak berguna dan tidak sah dimata hukum. Banyak masyarakat yang
berargumen bahwa mereka datang hanya simbol semata menghormati para tetangga
atau mengormati adanya pesta demokrasi dan mereka sadar datang hanya untuk
menunjukan kekecewaan mereka dengan melubangi kertas suara lebih dari
satu/bahkan tidak melubangi kertas sama sekali.
Selain pemaparan
diatas tetapi ada masyarakat yang datang ke TPS tetapi surat suaranya diangab
tidak sah. Hal ini dipengaruhi faktor ketidak sengajaan seperti faktor umur
yang sudah pikun dan faktor berkurangnya daya penglihatan sehingga mereka
mencoblos lebih dari satu atau mencoblos tidak sesuai dengan tempat yang telah
ditentukan meskipun sudah disediakan pengawas pemilu yang bertugas membantu
orang yang membutuhkan bantuan untuk mencoblos tetapi masih bayak masyarakat
lansia yang masih merasa mampu dan tidak membutuhkan bantuan dalam proses
pemungutan suara. Selain faktor umur juga faktor lokasi pemungutan yang jauh
yang berimbas pada masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya menjadi dengan
karena keberadaan TPS yang jauh dari tempat mereka tinggal. Mereka juga
berangapan ketika datang ke TPS yang jauh
tidak mendapatkan apa-apa seperti minuman atau sebagainya.
Dari pemaparan
diatas Golput di Jawa Timur dapat di klasifikasikan ke dalam dua kelompok besar
yaitu faktor dari internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud
adalah alasan pemilih untuk tidak mengunakan hak pilih dalam pemilu Jatim yang
bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan faktor Eksternal yang dimaksud adalah
alasan pemilih untuk tidak mengunkan hak pilihnya yang bersumber dari luar
dirinya.
1.
Faktor
internal
a.
Faktor
Teknis
Adalah
kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga
Menghalangi
untuk mengunakan hal pilihnya. Seperti pada hari pencoblosan pemilih sedang
sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainya yang
sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi inilah yang secara teknis membuat
pemilih tidak dapat datang ke TPS untuk
mengunakan hak pilihnya alias Golput.
b.
Faktor
Pekerjaan
Adalah
pekarjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini
memiliki
kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Penduduk Jawa Timur
sebagian besar bekerja di sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan
ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti mereka tidak dapat penghasilan
seperti tukang ojek, buruh tani , petani harian, buruh harian dll.
2.
Faktor
Eksternal
a.
Faktor
Administratif
Adalah
faktor yang berkaitan dengan aspek administrasi yang
mengakibatkan
pemilih tidak dapat mengunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai
pemilih (DPT). Meskipun ada kebijakan dari KPU tetap bisa memilih dengan datang
ke TPS menunjukan KTP tetapi masyarakat banyak yang tidak mengetahui. Dengan
demikian masyarakat akan tergabung menjadi kategori Golput.
b.
Sosialisasi
Sosialiasai
atau menyebarluaskan pelaksanaan pilgub Jatim sangat
penting
dilakukan dalam rangka meminimalisir golput. Minimalnya Sosialisasi di jawa
timur dikarenakan kurangnya anggaran untuk sosialisasi kepada masyarakat luas.
c.
Faktor
Politik
Adalah
alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik
masyarakat
tidak mau memilih. Seperti ketidak percayaan dengan pasangan calon /tidak
mempunyai pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pilgub
akan membawa perubahan yang signifikan. Kondisi inilah yang membuat masyarakat
untuk tidak mengunakan hak pilihnya
Sigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan
segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat Jawa Timur
terhadap politik sehingga membuat masyarakat engan untuk mengunakan hak
pilihnya.
Politik pragmatis yang semakin
menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi
hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat dan
sebagian masyarakat menjual belikan suaranya demi uang.
Angka golput
masyarakat di Jawa Timur masih tergolong tinggi di tahun 2013 meskipun angka
ini menurun di bandingkan pilgub 2008, namun demikian angka golput di tahun
2013 masih menyentuh 36,62% dari DPT yang di keluarkan KPU, angka ini masih
tergolong tinggi mengingat data pemilih tetap (DPT) penduduk jawa timur yang
menyentuh 1,726 juta penduduk. Seharusnya pemerintah dan KPU bekerja sama
menyukseskan PILGUB Jawa Timur dengan mensosialisasikan pilgub ke seluruh
daerah jawa timur mulai dari perkotaan sampai dengan pedesaan, dan memberikan
sosialisasi kepada masyarakat jawa timur meskipun mereka tidak terdaftar di DPT
mereka dapat menyalurkan aspirasinya dengan cara datang ke TPS dan menunjukan
KTP.
Seharusnya
masyarakat juga menyadari bahwa PILGUB Jawa Timur 2013 menentukan masa depan
Jawa Timur dalam lima tahun ke depan dan ke mana arah pembangunan Jawa Timur.
Masyarakat seharusnya lebih menyadari bahwa suara mereka menentukan siapa yang
akan memimpin Jawa Timur, dengan ikut menyukseskan dan ikut serta dalam pesta
demokrasi berarti masyarakat sudah melaksanakan haknya sebagai warga negara dan
masyarakat berhak menuntut janji gubernur terpilih pada saat kampanye dulu.
Sebagai gubernur
terpilih, seharusnya gubernur melaksanakan tugasnya dengan
sebaik-baiknya dan melaksanakan janji-janji politik saat kampanye agar
masyarakat tidak merasa ditipu dan masyarakat tidak alergi akan pemilu sehingga
angka golput dapat ditekan sekecilnya di wilayah Jawa Timur.
[1]
Bismar Rianto, analis penyebab masyarakat tidak memilih dalam pemilu, jurnal
ilmu politik dan pemerintahan:2011, 53
[2]
Fadilat putra, partai politik dan agenda transisi demokrasi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004)104
[3]
http://ustadzsbu.blogspot.com/2009/03/hukum-partisipasi-politik-dan-golput.html
(minggu,29 Desember 2013, 08.26)
[4]
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/04/078510391/angka-golput-pilgub-jawa-timur-di-jember-tinggi.html
(minggu,29 Desember 2013, 09.26)
[5]
Arbi Sanit, aneka pandangan fenomena politik golput (Jakarta: pustaka
sinar harapan,1992)
Jawa timur
dalam satu dekade sudah melaksanakan dua kali pemilihan gubernur dan wakil
gubernur tahun 2008 dan 2013. Meskipun sudah dua kali terjadi pemilihan
gubernur tetapi angka golput masih tergolong tinggi, di tahun 2013 angka
Golput mencapai 36,62% dari daftar
pemilih yang telah terdaftar di KPU Jatim. Hal ini sedikit menurun di
bandingkan angka golput di tahun 2008 yang mencapai 48%.
Kata golput
(golongan putih) sebenarnya bermakna tidak memilih dalam pemilu dengan berbagai
faktor alasan. Sebenarnya fenomena golput sudah terjadi pada pemilu
pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan
atau kurangnya informasi tentang penyelengaraan pemilu. Sedangkan di era Orde
Baru, golput lebih diartikan sebagai gerakan moral untuk memprotes penerapan
sistem pemilu yang tidak demokratis oleh penguasa saat itu.
Dalam kajian
perilaku pemilih hanya terdapat dua konsep utama, yaitu perilaku memilih dan
perilaku tidak memilih (Golput). Menurut David moon ada dua pendekatan teoritik
utama dalam menjelaskan perilaku tidak memilih (golput) yang pertama menekankan
pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional
sistem pemilu, kedua penekanan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan
kerugian atas keputusan mereka hadir dan tidak hadir memilih.[1]
Istilah golput
muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman orde baru tahun 1971.
Pemakarsa sikap untuk tidak memilih pada masa itu antara lain Arief Budiman,
Julius Usman dan Imam maluyo Sumadi. langkah mereka didasari bahwa aturan
demokrasi tidak ditegakkan, cenderung di injak-injak.[2]
Sikap
orang-orang golput di pengaruhi banyak faktor mulai dari faktor kelaleian/ketidak
sengajaan dan faktor kesengajaan yang mendorong untuk tidak memilih bila hal
ini di lihat lebih jauh sikap golput dapat dilihat dari berbagai sudut pandang
dan menghasilkan beberapa perspektif. Bila di lihat dalam segi hukum sebenarnya
golput tidak dibenarkan dalam pemilu karena
pemilu adalah sarana untuk mewujudkan pemerintahan yang demokrasi hal
ini juga di dukung oleh UUD namun demikian golput juga tidak dilarang dalam UU.
Dalam konsideran UU
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, point menimbang
huruf b disebutkan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan
sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang
demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.[3] Memang partisipasi politik setiap warga negara dipandang dari aspek
individu untuk memberikan suara politik dalam pemilihan umum merupakan hak
warga negara, yang dijamin oleh konstitusi; bukan suatu kewajiban. Pasal 28 D
(3) UUD RI Tahun 1945 menyatakan bahwa ”setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Jadi golput menurut konstitusi dapat
diartikan tidak dipermasalahkan karena dalam konstitusi hanya mengatur tentang hak
warga negara memperoleh hak yang sama dalam proses pemilu tetapi tidak
mewajibkan untuk menyalurkan aspirasinya, tidak ada unsur yang mewajibkan dalam
proses pemungutan suara. Tetapi meskipun demikian konstitusi juga menganjurkan
warga negara untuk menyalurkan
aspirasinya karena bila masyarakat menyalurkan aspirasinya maka warga negara sudah
ikut serta dalam mewujudkan demokrasi dan ikut serta dalam pembangunan negara
dalam segi pemerintahan.
Masyarakat seharusnya dalam memaknai
anjuran konstitusi pemilu, harus lebih bijaksana meskipun tidak ada larangan
golput tetapi masyarakat harus sadar bahwa pemilu bukanlah hanya kepentingan
suatu golongan atau kepentingan calon yang akan di pilih tetapi pemilu menentukan
siapa yang akan menyalurkan aspirasi rakyat dan siapa yang akan memimpin rakyat
dalam kurun waktu yang telah di tentukan oleh konstitusi.
Kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya menyalurkan aspirasi dan kurang mengertinya masyarakat dalam proses
pemilu yang memicu munculnya angka golput dalam setiap pemilu.kurangnya
sosialisasi tentang pemilu dan dasar hukum pemilu juga membuat masyarakat acuh
tak acuh dalam perhelatan pemilu.
Golput sangat merugikan bila dilihat dari
segi yang mencalonkan karena suara masyarakat yang tidak menyalurkan
aspirasinya alias golput sangat
mempengaruhi dalam pemerolehan suara dalam pemilu. Suara satu dari pemilih
sangat menentukan kemenangan suatu calon
maka golput juga dapat menentukan kemenangan suatu calon dalam perebutan
kursi jabatan.
Untuk meminimalisir golput seharusnya calon
(peserta pemilu) harus bisa meyakinkan masyarakat luas untuk memilihnya dan
memberikan langkah kongkret untuk menarik para pemilih untuk memilih dari pada
golput. Jika masyarakat dapat diyakinkan untuk menyalurkan hak pilihnya maka
calon (peserta pemilu) akan memperoleh suara semaksimal mungkin sehingga pemilu
akan lebih terasa dan pesta demokrasi
benar-benar dapat dirasakan oleh semua anggota masyarakat.
Golput disamping merugikan calon peserta
pemilu juga merugikan KPU karena membuang kertas suara, yang berimbas pada
pemborosan anggaran pemilu. KPU juga dirugikan bila masyarakat tidak datang ke
TPS,dan juga merugikan penyelengara karena telah menyiapkan tempat untuk
menyalurkan aspirasinya tetapi tidak digunakan
secara maksimal.
Golput selain dipicu oleh perseorangan
tetapi juga bisa dipengaruhi oleh kesemerawutan DPT atau tidak tercantumnya
warga masyaratat pada DPT yang mengakibatkan masyarakat kehilangan hak pilihnya
sehingga masyarakat yang seharusnya mempunyai hak pilih menjadi tidak mempunyai
hak pilih. Meskipun sekarang kebijakan KPU memperbolehkan seseorang yang tidak
tercantum pada DPT, tetapi mempunyai KTP dapat menyalurkan hak pilihnya dengan
syarat menunjukan KTP pada petugas TPS. Tetapi banyak masyarakat yang belum
mengetahuinya karena minimnya sosialisasi dari petugas kepada masyarakat luas.
Perbuatan yang dipertontonkan para pejabat
dan elit politik di negeri ini menimbulkan rasa sakit hati terhadap masyarakat.
Sebab pada saat pemilihan, masyarakat telah menaruh kepercayaan sepenuhnya
kepada mereka, masyarakat berharap dengan terpilihnya orang-orang yang mereka
percayai. Kelak masyarakat akan sedikit
terbantu dan tertolong dalam mengatasi berbagai masalah persoalan, namun kecewaan
yang mereka dapatkan sehingga masyarakat kehilangan rasa kepercayaan pada
pemimpin negeri dan lebih memilih golput pada pemilu berikutnya. Masyarakat
membutuhkan pemimpin yang dapat dipercaya bukan pemipin yang membuat masyarakat
kecewa dan berimbas pada krisis kepercayaan pada perhelatan akbar demokrasi
yang di angab oleh kalangan masyarakat (golput) sebagai ajang pencari jabatan
bukan ajang penyalur aspirasi rakyat.
Ada tiga faktor utama yang menyebabkan
tingginya angka golput dalam Pilgub Jawa Timur 2013-2018 yaitu:
1. Kurangnya sosialisasi tentang pilgub jawa
timur
Kurangnya sosialisasi dapat dikatakan karena masih
banyak angka golput di wilayah jawa timur, seperti di jember.
“Ketua Panitia Pengawas Pemilu Jember,
Dima Akhyar, mengatakan tinginya angka golput itu lebih banyak disebabkan
minimnya sosialisasi yang dilakukan KPU, PPK, hingga PPS sebelum pemilihan.
Selain itu, kata dia, distribusi surat undang memilih kepada masyarakat tidak
maksimal. "Warga di daerah pedesaan banyak yang tidak tahu pilgub, dan
mereka juga tidak tahu bahwa tanpa surat undangan mencoblos bisa dengan KTP dan
KK," kata dia”.[4]
2. Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan
ekonomi.
Mayoritas masyarakat lebih mementingkan bekerja
daripada datang ke TPS memberikan suaranya, karena faktor ekonomi dimana
masyarakat lebih memilih bekerja dari pada hilang penghasilanya karena datang
ke TPS dan tidak mendapatkan apa-apa dari TPS, sementara kebutuhan ekonomi
keluarga semakin banyak.
3. Sikap apatisme terhadap pemilihan Gubernur.
Masyarakat banyak menganggap bahwa dengan dilaksanakannya pilgub tidak akan
membawa perubahan apapun terhadap provinsi maupun terhadap kehidupan mereka.
Menurut mereka perhelatan pilgub Jawa Timur hanya sebuah rutinitas politik dan
hanya perebutan kekuasaan antar para elite politik Jawa Timur sehingga mereka
acuh tak acuh diadakanya atau tidak diadakanya pilgub Jatim karena di pilgub
tidak dapat menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
Untuk
lebih singkatnya masalah diatas juga di sebut dengan masalah Administratif,
masalah teknis, masalah rendahnya partisipasi/ketertarikan akan politik yang
menyebabkan masyarakat memilih untuk Golput dari pada menyalurkan aspirasinya
dengan datang ke TPS yang telah disediakan.
Banyak
cara yang digunakan masyarakat dalam golput, salah satunya menurut pendapat
Arbi Sanit[5] golput
dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pertama, menusuk lebih dari satu
gambar. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi
kotak suara dengan berdasarkan untuk tidak mengunakan hak pilih.
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan perilaku golput dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Tidak hanya tidak datang ke tempat pemungutasn suara saja tetapi
golput juga dapat terjadi meskipun datang ketempat pemungutan suara (TPS). Masyarakat
yang datang tetapi surat suaranya tidak sah karena tidak memenuhi ke absahan
surat suara yang telah di tetapkan oleh KPU. Masyarakat ini bertipe menghormati
adanya pesta demokrasi tetapi mereka tidak ingin menyalurkan aspirasinya karena
berbagai alasan seperti ketidak puasan akan calon yang diusung.
Di
pilgub Jatim juga banyak terdapat surat suara yang tidak sah tercatat bahwa ada sekitar 16. 390 suara tidak sah dibandingkan
dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang mencapai 1,726 juta penduduk Jawa
Timur. Sarat suara yang tidak sah sama halnya dengan golput karena suara yang
mereka berikan tidak berguna dan tidak sah dimata hukum. Banyak masyarakat yang
berargumen bahwa mereka datang hanya simbol semata menghormati para tetangga
atau mengormati adanya pesta demokrasi dan mereka sadar datang hanya untuk
menunjukan kekecewaan mereka dengan melubangi kertas suara lebih dari
satu/bahkan tidak melubangi kertas sama sekali.
Selain pemaparan
diatas tetapi ada masyarakat yang datang ke TPS tetapi surat suaranya diangab
tidak sah. Hal ini dipengaruhi faktor ketidak sengajaan seperti faktor umur
yang sudah pikun dan faktor berkurangnya daya penglihatan sehingga mereka
mencoblos lebih dari satu atau mencoblos tidak sesuai dengan tempat yang telah
ditentukan meskipun sudah disediakan pengawas pemilu yang bertugas membantu
orang yang membutuhkan bantuan untuk mencoblos tetapi masih bayak masyarakat
lansia yang masih merasa mampu dan tidak membutuhkan bantuan dalam proses
pemungutan suara. Selain faktor umur juga faktor lokasi pemungutan yang jauh
yang berimbas pada masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya menjadi dengan
karena keberadaan TPS yang jauh dari tempat mereka tinggal. Mereka juga
berangapan ketika datang ke TPS yang jauh
tidak mendapatkan apa-apa seperti minuman atau sebagainya.
Dari pemaparan
diatas Golput di Jawa Timur dapat di klasifikasikan ke dalam dua kelompok besar
yaitu faktor dari internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud
adalah alasan pemilih untuk tidak mengunakan hak pilih dalam pemilu Jatim yang
bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan faktor Eksternal yang dimaksud adalah
alasan pemilih untuk tidak mengunkan hak pilihnya yang bersumber dari luar
dirinya.
1.
Faktor
internal
a.
Faktor
Teknis
Adalah
kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga
Menghalangi
untuk mengunakan hal pilihnya. Seperti pada hari pencoblosan pemilih sedang
sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainya yang
sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi inilah yang secara teknis membuat
pemilih tidak dapat datang ke TPS untuk
mengunakan hak pilihnya alias Golput.
b.
Faktor
Pekerjaan
Adalah
pekarjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini
memiliki
kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Penduduk Jawa Timur
sebagian besar bekerja di sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan
ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti mereka tidak dapat penghasilan
seperti tukang ojek, buruh tani , petani harian, buruh harian dll.
2.
Faktor
Eksternal
a.
Faktor
Administratif
Adalah
faktor yang berkaitan dengan aspek administrasi yang
mengakibatkan
pemilih tidak dapat mengunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai
pemilih (DPT). Meskipun ada kebijakan dari KPU tetap bisa memilih dengan datang
ke TPS menunjukan KTP tetapi masyarakat banyak yang tidak mengetahui. Dengan
demikian masyarakat akan tergabung menjadi kategori Golput.
b.
Sosialisasi
Sosialiasai
atau menyebarluaskan pelaksanaan pilgub Jatim sangat
penting
dilakukan dalam rangka meminimalisir golput. Minimalnya Sosialisasi di jawa
timur dikarenakan kurangnya anggaran untuk sosialisasi kepada masyarakat luas.
c.
Faktor
Politik
Adalah
alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik
masyarakat
tidak mau memilih. Seperti ketidak percayaan dengan pasangan calon /tidak
mempunyai pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pilgub
akan membawa perubahan yang signifikan. Kondisi inilah yang membuat masyarakat
untuk tidak mengunakan hak pilihnya
Sigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan
segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat Jawa Timur
terhadap politik sehingga membuat masyarakat engan untuk mengunakan hak
pilihnya.
Politik pragmatis yang semakin
menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi
hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat dan
sebagian masyarakat menjual belikan suaranya demi uang.
Angka golput
masyarakat di Jawa Timur masih tergolong tinggi di tahun 2013 meskipun angka
ini menurun di bandingkan pilgub 2008, namun demikian angka golput di tahun
2013 masih menyentuh 36,62% dari DPT yang di keluarkan KPU, angka ini masih
tergolong tinggi mengingat data pemilih tetap (DPT) penduduk jawa timur yang
menyentuh 1,726 juta penduduk. Seharusnya pemerintah dan KPU bekerja sama
menyukseskan PILGUB Jawa Timur dengan mensosialisasikan pilgub ke seluruh
daerah jawa timur mulai dari perkotaan sampai dengan pedesaan, dan memberikan
sosialisasi kepada masyarakat jawa timur meskipun mereka tidak terdaftar di DPT
mereka dapat menyalurkan aspirasinya dengan cara datang ke TPS dan menunjukan
KTP.
Seharusnya
masyarakat juga menyadari bahwa PILGUB Jawa Timur 2013 menentukan masa depan
Jawa Timur dalam lima tahun ke depan dan ke mana arah pembangunan Jawa Timur.
Masyarakat seharusnya lebih menyadari bahwa suara mereka menentukan siapa yang
akan memimpin Jawa Timur, dengan ikut menyukseskan dan ikut serta dalam pesta
demokrasi berarti masyarakat sudah melaksanakan haknya sebagai warga negara dan
masyarakat berhak menuntut janji gubernur terpilih pada saat kampanye dulu.
Sebagai gubernur
terpilih, seharusnya gubernur melaksanakan tugasnya dengan
sebaik-baiknya dan melaksanakan janji-janji politik saat kampanye agar
masyarakat tidak merasa ditipu dan masyarakat tidak alergi akan pemilu sehingga
angka golput dapat ditekan sekecilnya di wilayah Jawa Timur.
[1]
Bismar Rianto, analis penyebab masyarakat tidak memilih dalam pemilu, jurnal
ilmu politik dan pemerintahan:2011, 53
[2]
Fadilat putra, partai politik dan agenda transisi demokrasi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004)104
[3]
http://ustadzsbu.blogspot.com/2009/03/hukum-partisipasi-politik-dan-golput.html
(minggu,29 Desember 2013, 08.26)
[4]
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/04/078510391/angka-golput-pilgub-jawa-timur-di-jember-tinggi.html
(minggu,29 Desember 2013, 09.26)
[5]
Arbi Sanit, aneka pandangan fenomena politik golput (Jakarta: pustaka
sinar harapan,1992)