Jumat, 19 Desember 2014

Penyebab Masyarakat Jawa Timur GolPut pada PILGUB 2013



Jawa timur dalam satu dekade sudah melaksanakan dua kali pemilihan gubernur dan wakil gubernur tahun 2008 dan 2013. Meskipun sudah dua kali terjadi pemilihan gubernur tetapi angka golput masih tergolong tinggi, di tahun 2013 angka Golput  mencapai 36,62% dari daftar pemilih yang telah terdaftar di KPU Jatim. Hal ini sedikit menurun di bandingkan angka golput di tahun 2008 yang mencapai 48%.
Kata golput (golongan putih) sebenarnya bermakna tidak memilih dalam pemilu dengan berbagai faktor alasan. Sebenarnya fenomena golput sudah terjadi pada pemilu pertama  tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelengaraan pemilu. Sedangkan di era Orde Baru, golput lebih diartikan sebagai gerakan moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis oleh penguasa saat itu.
Dalam kajian perilaku pemilih hanya terdapat dua konsep utama, yaitu perilaku memilih dan perilaku tidak memilih (Golput). Menurut David moon ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan perilaku tidak memilih (golput) yang pertama menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu, kedua penekanan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka hadir dan tidak hadir memilih.[1]
Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman orde baru tahun 1971. Pemakarsa sikap untuk tidak memilih pada masa itu antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan Imam maluyo Sumadi. langkah mereka didasari bahwa aturan demokrasi tidak ditegakkan, cenderung di injak-injak.[2]
Sikap orang-orang golput di pengaruhi banyak faktor mulai dari faktor kelaleian/ketidak sengajaan dan faktor kesengajaan yang mendorong untuk tidak memilih bila hal ini di lihat lebih jauh sikap golput dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan menghasilkan beberapa perspektif. Bila di lihat dalam segi hukum sebenarnya golput tidak dibenarkan dalam pemilu karena  pemilu adalah sarana untuk mewujudkan pemerintahan yang demokrasi hal ini juga di dukung oleh UUD namun demikian golput juga tidak dilarang dalam UU. Dalam konsideran UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, point menimbang huruf b disebutkan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[3] Memang partisipasi politik setiap warga negara dipandang dari aspek individu untuk memberikan suara politik dalam pemilihan umum merupakan hak warga negara, yang dijamin oleh konstitusi; bukan suatu kewajiban. Pasal 28 D (3) UUD RI Tahun 1945 menyatakan bahwa ”setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Jadi golput menurut konstitusi dapat diartikan tidak dipermasalahkan karena dalam konstitusi hanya mengatur tentang hak warga negara memperoleh hak yang sama dalam proses pemilu tetapi tidak mewajibkan untuk menyalurkan aspirasinya, tidak ada unsur yang mewajibkan dalam proses pemungutan suara. Tetapi meskipun demikian konstitusi juga menganjurkan warga negara  untuk menyalurkan aspirasinya karena bila masyarakat menyalurkan aspirasinya maka warga negara sudah ikut serta dalam mewujudkan demokrasi dan ikut serta dalam pembangunan negara dalam segi pemerintahan.
Masyarakat seharusnya dalam memaknai anjuran konstitusi pemilu, harus lebih bijaksana meskipun tidak ada larangan golput tetapi masyarakat harus sadar bahwa pemilu bukanlah hanya kepentingan suatu golongan atau kepentingan calon yang akan di pilih tetapi pemilu menentukan siapa yang akan menyalurkan aspirasi rakyat dan siapa yang akan memimpin rakyat dalam kurun waktu yang telah di tentukan oleh konstitusi.
Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menyalurkan aspirasi dan kurang mengertinya masyarakat dalam proses pemilu yang memicu munculnya angka golput dalam setiap pemilu.kurangnya sosialisasi tentang pemilu dan dasar hukum pemilu juga membuat masyarakat acuh tak acuh dalam perhelatan pemilu.
Golput sangat merugikan bila dilihat dari segi yang mencalonkan karena suara masyarakat yang tidak menyalurkan aspirasinya alias golput  sangat mempengaruhi dalam pemerolehan suara dalam pemilu. Suara satu dari pemilih sangat menentukan kemenangan suatu calon  maka golput juga dapat menentukan kemenangan suatu calon dalam perebutan kursi jabatan.
Untuk meminimalisir golput seharusnya calon (peserta pemilu) harus bisa meyakinkan masyarakat luas untuk memilihnya dan memberikan langkah kongkret untuk menarik para pemilih untuk memilih dari pada golput. Jika masyarakat dapat diyakinkan untuk menyalurkan hak pilihnya maka calon (peserta pemilu) akan memperoleh suara semaksimal mungkin sehingga pemilu akan lebih terasa  dan pesta demokrasi benar-benar dapat dirasakan oleh semua anggota masyarakat.
Golput disamping merugikan calon peserta pemilu juga merugikan KPU karena membuang kertas suara, yang berimbas pada pemborosan anggaran pemilu. KPU juga dirugikan bila masyarakat tidak datang ke TPS,dan juga merugikan penyelengara karena telah menyiapkan tempat untuk menyalurkan aspirasinya tetapi tidak digunakan  secara maksimal.
Golput selain dipicu oleh perseorangan tetapi juga bisa dipengaruhi oleh kesemerawutan DPT atau tidak tercantumnya warga masyaratat pada DPT yang mengakibatkan masyarakat kehilangan hak pilihnya sehingga masyarakat yang seharusnya mempunyai hak pilih menjadi tidak mempunyai hak pilih. Meskipun sekarang kebijakan KPU memperbolehkan seseorang yang tidak tercantum pada DPT, tetapi mempunyai KTP dapat menyalurkan hak pilihnya dengan syarat menunjukan KTP pada petugas TPS. Tetapi banyak masyarakat yang belum mengetahuinya karena minimnya sosialisasi dari petugas kepada masyarakat luas.
Perbuatan yang dipertontonkan para pejabat dan elit politik di negeri ini menimbulkan rasa sakit hati terhadap masyarakat. Sebab pada saat pemilihan, masyarakat telah menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada mereka, masyarakat berharap dengan terpilihnya orang-orang yang mereka percayai. Kelak masyarakat  akan sedikit terbantu dan tertolong dalam mengatasi berbagai masalah persoalan, namun kecewaan yang mereka dapatkan sehingga masyarakat kehilangan rasa kepercayaan pada pemimpin negeri dan lebih memilih golput pada pemilu berikutnya. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang dapat dipercaya bukan pemipin yang membuat masyarakat kecewa dan berimbas pada krisis kepercayaan pada perhelatan akbar demokrasi yang di angab oleh kalangan masyarakat (golput) sebagai ajang pencari jabatan bukan ajang penyalur aspirasi rakyat.
Ada tiga faktor utama yang menyebabkan tingginya angka golput dalam Pilgub Jawa Timur 2013-2018 yaitu:
1.      Kurangnya sosialisasi tentang pilgub jawa timur
Kurangnya sosialisasi dapat dikatakan karena masih banyak angka golput di wilayah jawa timur, seperti di jember.
                        Ketua Panitia Pengawas Pemilu Jember, Dima Akhyar, mengatakan tinginya angka golput itu lebih banyak disebabkan minimnya sosialisasi yang dilakukan KPU, PPK, hingga PPS sebelum pemilihan. Selain itu, kata dia, distribusi surat undang memilih kepada masyarakat tidak maksimal. "Warga di daerah pedesaan banyak yang tidak tahu pilgub, dan mereka juga tidak tahu bahwa tanpa surat undangan mencoblos bisa dengan KTP dan KK," kata dia”.[4]
2.      Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi.
Mayoritas masyarakat lebih mementingkan bekerja daripada datang ke TPS memberikan suaranya, karena faktor ekonomi dimana masyarakat lebih memilih bekerja dari pada hilang penghasilanya karena datang ke TPS dan tidak mendapatkan apa-apa dari TPS, sementara kebutuhan ekonomi keluarga semakin banyak.
3.      Sikap apatisme terhadap pemilihan Gubernur.
Masyarakat banyak menganggap bahwa dengan dilaksanakannya pilgub tidak akan membawa perubahan apapun terhadap provinsi maupun terhadap kehidupan mereka. Menurut mereka perhelatan pilgub Jawa Timur hanya sebuah rutinitas politik dan hanya perebutan kekuasaan antar para elite politik Jawa Timur sehingga mereka acuh tak acuh diadakanya atau tidak diadakanya pilgub Jatim karena di pilgub tidak dapat menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
            Untuk lebih singkatnya masalah diatas juga di sebut dengan masalah Administratif, masalah teknis, masalah rendahnya partisipasi/ketertarikan akan politik yang menyebabkan masyarakat memilih untuk Golput dari pada menyalurkan aspirasinya dengan datang ke TPS yang telah disediakan.           
            Banyak cara yang digunakan masyarakat dalam golput, salah satunya menurut pendapat Arbi Sanit[5] golput dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pertama, menusuk lebih dari satu gambar. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan berdasarkan untuk tidak mengunakan hak pilih.
            Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan perilaku golput dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tidak hanya tidak datang ke tempat pemungutasn suara saja tetapi golput juga dapat terjadi meskipun datang ketempat pemungutan suara (TPS). Masyarakat yang datang tetapi surat suaranya tidak sah karena tidak memenuhi ke absahan surat suara yang telah di tetapkan oleh KPU. Masyarakat ini bertipe menghormati adanya pesta demokrasi tetapi mereka tidak ingin menyalurkan aspirasinya karena berbagai alasan seperti ketidak puasan akan calon yang diusung.
            Di pilgub Jatim juga banyak terdapat surat suara yang tidak sah tercatat bahwa ada sekitar 16. 390 suara tidak sah dibandingkan dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang mencapai 1,726 juta penduduk Jawa Timur. Sarat suara yang tidak sah sama halnya dengan golput karena suara yang mereka berikan tidak berguna dan tidak sah dimata hukum. Banyak masyarakat yang berargumen bahwa mereka datang hanya simbol semata menghormati para tetangga atau mengormati adanya pesta demokrasi dan mereka sadar datang hanya untuk menunjukan kekecewaan mereka dengan melubangi kertas suara lebih dari satu/bahkan tidak melubangi kertas sama sekali.
            Selain pemaparan diatas tetapi ada masyarakat yang datang ke TPS tetapi surat suaranya diangab tidak sah. Hal ini dipengaruhi faktor ketidak sengajaan seperti faktor umur yang sudah pikun dan faktor berkurangnya daya penglihatan sehingga mereka mencoblos lebih dari satu atau mencoblos tidak sesuai dengan tempat yang telah ditentukan meskipun sudah disediakan pengawas pemilu yang bertugas membantu orang yang membutuhkan bantuan untuk mencoblos tetapi masih bayak masyarakat lansia yang masih merasa mampu dan tidak membutuhkan bantuan dalam proses pemungutan suara. Selain faktor umur juga faktor lokasi pemungutan yang jauh yang berimbas pada masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya menjadi dengan karena keberadaan TPS yang jauh dari tempat mereka tinggal. Mereka juga berangapan ketika datang ke TPS yang jauh  tidak mendapatkan apa-apa seperti minuman atau sebagainya.
            Dari pemaparan diatas Golput di Jawa Timur dapat di klasifikasikan ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor dari internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah alasan pemilih untuk tidak mengunakan hak pilih dalam pemilu Jatim yang bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan faktor Eksternal yang dimaksud adalah alasan pemilih untuk tidak mengunkan hak pilihnya yang bersumber dari luar dirinya.
1.      Faktor internal
a.       Faktor Teknis
Adalah kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga
Menghalangi untuk mengunakan hal pilihnya. Seperti pada hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi inilah yang secara teknis membuat pemilih tidak dapat datang  ke TPS untuk mengunakan hak pilihnya alias Golput.
b.      Faktor Pekerjaan
Adalah pekarjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini
memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Penduduk Jawa Timur sebagian besar bekerja di sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti mereka tidak dapat penghasilan seperti tukang ojek, buruh tani , petani harian, buruh harian dll.
2.      Faktor Eksternal
a.       Faktor Administratif
Adalah faktor yang berkaitan dengan aspek administrasi yang
mengakibatkan pemilih tidak dapat mengunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih (DPT). Meskipun ada kebijakan dari KPU tetap bisa memilih dengan datang ke TPS menunjukan KTP tetapi masyarakat banyak yang tidak mengetahui. Dengan demikian masyarakat akan tergabung menjadi kategori Golput.
b.      Sosialisasi
Sosialiasai atau menyebarluaskan pelaksanaan pilgub Jatim sangat
penting dilakukan dalam rangka meminimalisir golput. Minimalnya Sosialisasi di jawa timur dikarenakan kurangnya anggaran untuk sosialisasi kepada masyarakat luas.

c.       Faktor Politik
Adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik
masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percayaan dengan pasangan calon /tidak mempunyai pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pilgub akan membawa perubahan yang signifikan. Kondisi inilah yang membuat masyarakat untuk tidak mengunakan hak pilihnya
          Sigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat Jawa Timur terhadap politik sehingga membuat masyarakat engan untuk mengunakan hak pilihnya.
          Politik pragmatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat dan sebagian masyarakat menjual belikan suaranya demi uang.
            Angka golput masyarakat di Jawa Timur masih tergolong tinggi di tahun 2013 meskipun angka ini menurun di bandingkan pilgub 2008, namun demikian angka golput di tahun 2013 masih menyentuh 36,62% dari DPT yang di keluarkan KPU, angka ini masih tergolong tinggi mengingat data pemilih tetap (DPT) penduduk jawa timur yang menyentuh 1,726 juta penduduk. Seharusnya pemerintah dan KPU bekerja sama menyukseskan PILGUB Jawa Timur dengan mensosialisasikan pilgub ke seluruh daerah jawa timur mulai dari perkotaan sampai dengan pedesaan, dan memberikan sosialisasi kepada masyarakat jawa timur meskipun mereka tidak terdaftar di DPT mereka dapat menyalurkan aspirasinya dengan cara datang ke TPS dan menunjukan KTP.
            Seharusnya masyarakat juga menyadari bahwa PILGUB Jawa Timur 2013 menentukan masa depan Jawa Timur dalam lima tahun ke depan dan ke mana arah pembangunan Jawa Timur. Masyarakat seharusnya lebih menyadari bahwa suara mereka menentukan siapa yang akan memimpin Jawa Timur, dengan ikut menyukseskan dan ikut serta dalam pesta demokrasi berarti masyarakat sudah melaksanakan haknya sebagai warga negara dan masyarakat berhak menuntut janji gubernur terpilih pada saat kampanye dulu.
            Sebagai gubernur  terpilih, seharusnya gubernur melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan melaksanakan janji-janji politik saat kampanye agar masyarakat tidak merasa ditipu dan masyarakat tidak alergi akan pemilu sehingga angka golput dapat ditekan sekecilnya di wilayah Jawa Timur.


[1] Bismar Rianto, analis penyebab masyarakat tidak memilih dalam pemilu, jurnal ilmu politik dan pemerintahan:2011, 53
[2] Fadilat putra, partai politik dan agenda transisi demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)104
[3] http://ustadzsbu.blogspot.com/2009/03/hukum-partisipasi-politik-dan-golput.html (minggu,29 Desember 2013, 08.26)
[4] http://www.tempo.co/read/news/2013/09/04/078510391/angka-golput-pilgub-jawa-timur-di-jember-tinggi.html (minggu,29 Desember 2013, 09.26)
[5] Arbi Sanit, aneka pandangan fenomena politik golput (Jakarta: pustaka sinar harapan,1992)


Jawa timur dalam satu dekade sudah melaksanakan dua kali pemilihan gubernur dan wakil gubernur tahun 2008 dan 2013. Meskipun sudah dua kali terjadi pemilihan gubernur tetapi angka golput masih tergolong tinggi, di tahun 2013 angka Golput  mencapai 36,62% dari daftar pemilih yang telah terdaftar di KPU Jatim. Hal ini sedikit menurun di bandingkan angka golput di tahun 2008 yang mencapai 48%.
Kata golput (golongan putih) sebenarnya bermakna tidak memilih dalam pemilu dengan berbagai faktor alasan. Sebenarnya fenomena golput sudah terjadi pada pemilu pertama  tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelengaraan pemilu. Sedangkan di era Orde Baru, golput lebih diartikan sebagai gerakan moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis oleh penguasa saat itu.
Dalam kajian perilaku pemilih hanya terdapat dua konsep utama, yaitu perilaku memilih dan perilaku tidak memilih (Golput). Menurut David moon ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan perilaku tidak memilih (golput) yang pertama menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu, kedua penekanan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka hadir dan tidak hadir memilih.[1]
Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman orde baru tahun 1971. Pemakarsa sikap untuk tidak memilih pada masa itu antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan Imam maluyo Sumadi. langkah mereka didasari bahwa aturan demokrasi tidak ditegakkan, cenderung di injak-injak.[2]
Sikap orang-orang golput di pengaruhi banyak faktor mulai dari faktor kelaleian/ketidak sengajaan dan faktor kesengajaan yang mendorong untuk tidak memilih bila hal ini di lihat lebih jauh sikap golput dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan menghasilkan beberapa perspektif. Bila di lihat dalam segi hukum sebenarnya golput tidak dibenarkan dalam pemilu karena  pemilu adalah sarana untuk mewujudkan pemerintahan yang demokrasi hal ini juga di dukung oleh UUD namun demikian golput juga tidak dilarang dalam UU. Dalam konsideran UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, point menimbang huruf b disebutkan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[3] Memang partisipasi politik setiap warga negara dipandang dari aspek individu untuk memberikan suara politik dalam pemilihan umum merupakan hak warga negara, yang dijamin oleh konstitusi; bukan suatu kewajiban. Pasal 28 D (3) UUD RI Tahun 1945 menyatakan bahwa ”setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Jadi golput menurut konstitusi dapat diartikan tidak dipermasalahkan karena dalam konstitusi hanya mengatur tentang hak warga negara memperoleh hak yang sama dalam proses pemilu tetapi tidak mewajibkan untuk menyalurkan aspirasinya, tidak ada unsur yang mewajibkan dalam proses pemungutan suara. Tetapi meskipun demikian konstitusi juga menganjurkan warga negara  untuk menyalurkan aspirasinya karena bila masyarakat menyalurkan aspirasinya maka warga negara sudah ikut serta dalam mewujudkan demokrasi dan ikut serta dalam pembangunan negara dalam segi pemerintahan.
Masyarakat seharusnya dalam memaknai anjuran konstitusi pemilu, harus lebih bijaksana meskipun tidak ada larangan golput tetapi masyarakat harus sadar bahwa pemilu bukanlah hanya kepentingan suatu golongan atau kepentingan calon yang akan di pilih tetapi pemilu menentukan siapa yang akan menyalurkan aspirasi rakyat dan siapa yang akan memimpin rakyat dalam kurun waktu yang telah di tentukan oleh konstitusi.
Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menyalurkan aspirasi dan kurang mengertinya masyarakat dalam proses pemilu yang memicu munculnya angka golput dalam setiap pemilu.kurangnya sosialisasi tentang pemilu dan dasar hukum pemilu juga membuat masyarakat acuh tak acuh dalam perhelatan pemilu.
Golput sangat merugikan bila dilihat dari segi yang mencalonkan karena suara masyarakat yang tidak menyalurkan aspirasinya alias golput  sangat mempengaruhi dalam pemerolehan suara dalam pemilu. Suara satu dari pemilih sangat menentukan kemenangan suatu calon  maka golput juga dapat menentukan kemenangan suatu calon dalam perebutan kursi jabatan.
Untuk meminimalisir golput seharusnya calon (peserta pemilu) harus bisa meyakinkan masyarakat luas untuk memilihnya dan memberikan langkah kongkret untuk menarik para pemilih untuk memilih dari pada golput. Jika masyarakat dapat diyakinkan untuk menyalurkan hak pilihnya maka calon (peserta pemilu) akan memperoleh suara semaksimal mungkin sehingga pemilu akan lebih terasa  dan pesta demokrasi benar-benar dapat dirasakan oleh semua anggota masyarakat.
Golput disamping merugikan calon peserta pemilu juga merugikan KPU karena membuang kertas suara, yang berimbas pada pemborosan anggaran pemilu. KPU juga dirugikan bila masyarakat tidak datang ke TPS,dan juga merugikan penyelengara karena telah menyiapkan tempat untuk menyalurkan aspirasinya tetapi tidak digunakan  secara maksimal.
Golput selain dipicu oleh perseorangan tetapi juga bisa dipengaruhi oleh kesemerawutan DPT atau tidak tercantumnya warga masyaratat pada DPT yang mengakibatkan masyarakat kehilangan hak pilihnya sehingga masyarakat yang seharusnya mempunyai hak pilih menjadi tidak mempunyai hak pilih. Meskipun sekarang kebijakan KPU memperbolehkan seseorang yang tidak tercantum pada DPT, tetapi mempunyai KTP dapat menyalurkan hak pilihnya dengan syarat menunjukan KTP pada petugas TPS. Tetapi banyak masyarakat yang belum mengetahuinya karena minimnya sosialisasi dari petugas kepada masyarakat luas.
Perbuatan yang dipertontonkan para pejabat dan elit politik di negeri ini menimbulkan rasa sakit hati terhadap masyarakat. Sebab pada saat pemilihan, masyarakat telah menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada mereka, masyarakat berharap dengan terpilihnya orang-orang yang mereka percayai. Kelak masyarakat  akan sedikit terbantu dan tertolong dalam mengatasi berbagai masalah persoalan, namun kecewaan yang mereka dapatkan sehingga masyarakat kehilangan rasa kepercayaan pada pemimpin negeri dan lebih memilih golput pada pemilu berikutnya. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang dapat dipercaya bukan pemipin yang membuat masyarakat kecewa dan berimbas pada krisis kepercayaan pada perhelatan akbar demokrasi yang di angab oleh kalangan masyarakat (golput) sebagai ajang pencari jabatan bukan ajang penyalur aspirasi rakyat.
Ada tiga faktor utama yang menyebabkan tingginya angka golput dalam Pilgub Jawa Timur 2013-2018 yaitu:
1.      Kurangnya sosialisasi tentang pilgub jawa timur
Kurangnya sosialisasi dapat dikatakan karena masih banyak angka golput di wilayah jawa timur, seperti di jember.
                        Ketua Panitia Pengawas Pemilu Jember, Dima Akhyar, mengatakan tinginya angka golput itu lebih banyak disebabkan minimnya sosialisasi yang dilakukan KPU, PPK, hingga PPS sebelum pemilihan. Selain itu, kata dia, distribusi surat undang memilih kepada masyarakat tidak maksimal. "Warga di daerah pedesaan banyak yang tidak tahu pilgub, dan mereka juga tidak tahu bahwa tanpa surat undangan mencoblos bisa dengan KTP dan KK," kata dia”.[4]
2.      Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi.
Mayoritas masyarakat lebih mementingkan bekerja daripada datang ke TPS memberikan suaranya, karena faktor ekonomi dimana masyarakat lebih memilih bekerja dari pada hilang penghasilanya karena datang ke TPS dan tidak mendapatkan apa-apa dari TPS, sementara kebutuhan ekonomi keluarga semakin banyak.
3.      Sikap apatisme terhadap pemilihan Gubernur.
Masyarakat banyak menganggap bahwa dengan dilaksanakannya pilgub tidak akan membawa perubahan apapun terhadap provinsi maupun terhadap kehidupan mereka. Menurut mereka perhelatan pilgub Jawa Timur hanya sebuah rutinitas politik dan hanya perebutan kekuasaan antar para elite politik Jawa Timur sehingga mereka acuh tak acuh diadakanya atau tidak diadakanya pilgub Jatim karena di pilgub tidak dapat menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
            Untuk lebih singkatnya masalah diatas juga di sebut dengan masalah Administratif, masalah teknis, masalah rendahnya partisipasi/ketertarikan akan politik yang menyebabkan masyarakat memilih untuk Golput dari pada menyalurkan aspirasinya dengan datang ke TPS yang telah disediakan.           
            Banyak cara yang digunakan masyarakat dalam golput, salah satunya menurut pendapat Arbi Sanit[5] golput dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pertama, menusuk lebih dari satu gambar. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan berdasarkan untuk tidak mengunakan hak pilih.
            Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan perilaku golput dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tidak hanya tidak datang ke tempat pemungutasn suara saja tetapi golput juga dapat terjadi meskipun datang ketempat pemungutan suara (TPS). Masyarakat yang datang tetapi surat suaranya tidak sah karena tidak memenuhi ke absahan surat suara yang telah di tetapkan oleh KPU. Masyarakat ini bertipe menghormati adanya pesta demokrasi tetapi mereka tidak ingin menyalurkan aspirasinya karena berbagai alasan seperti ketidak puasan akan calon yang diusung.
            Di pilgub Jatim juga banyak terdapat surat suara yang tidak sah tercatat bahwa ada sekitar 16. 390 suara tidak sah dibandingkan dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang mencapai 1,726 juta penduduk Jawa Timur. Sarat suara yang tidak sah sama halnya dengan golput karena suara yang mereka berikan tidak berguna dan tidak sah dimata hukum. Banyak masyarakat yang berargumen bahwa mereka datang hanya simbol semata menghormati para tetangga atau mengormati adanya pesta demokrasi dan mereka sadar datang hanya untuk menunjukan kekecewaan mereka dengan melubangi kertas suara lebih dari satu/bahkan tidak melubangi kertas sama sekali.
            Selain pemaparan diatas tetapi ada masyarakat yang datang ke TPS tetapi surat suaranya diangab tidak sah. Hal ini dipengaruhi faktor ketidak sengajaan seperti faktor umur yang sudah pikun dan faktor berkurangnya daya penglihatan sehingga mereka mencoblos lebih dari satu atau mencoblos tidak sesuai dengan tempat yang telah ditentukan meskipun sudah disediakan pengawas pemilu yang bertugas membantu orang yang membutuhkan bantuan untuk mencoblos tetapi masih bayak masyarakat lansia yang masih merasa mampu dan tidak membutuhkan bantuan dalam proses pemungutan suara. Selain faktor umur juga faktor lokasi pemungutan yang jauh yang berimbas pada masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya menjadi dengan karena keberadaan TPS yang jauh dari tempat mereka tinggal. Mereka juga berangapan ketika datang ke TPS yang jauh  tidak mendapatkan apa-apa seperti minuman atau sebagainya.
            Dari pemaparan diatas Golput di Jawa Timur dapat di klasifikasikan ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor dari internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah alasan pemilih untuk tidak mengunakan hak pilih dalam pemilu Jatim yang bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan faktor Eksternal yang dimaksud adalah alasan pemilih untuk tidak mengunkan hak pilihnya yang bersumber dari luar dirinya.
1.      Faktor internal
a.       Faktor Teknis
Adalah kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga
Menghalangi untuk mengunakan hal pilihnya. Seperti pada hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi inilah yang secara teknis membuat pemilih tidak dapat datang  ke TPS untuk mengunakan hak pilihnya alias Golput.
b.      Faktor Pekerjaan
Adalah pekarjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini
memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Penduduk Jawa Timur sebagian besar bekerja di sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti mereka tidak dapat penghasilan seperti tukang ojek, buruh tani , petani harian, buruh harian dll.
2.      Faktor Eksternal
a.       Faktor Administratif
Adalah faktor yang berkaitan dengan aspek administrasi yang
mengakibatkan pemilih tidak dapat mengunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih (DPT). Meskipun ada kebijakan dari KPU tetap bisa memilih dengan datang ke TPS menunjukan KTP tetapi masyarakat banyak yang tidak mengetahui. Dengan demikian masyarakat akan tergabung menjadi kategori Golput.
b.      Sosialisasi
Sosialiasai atau menyebarluaskan pelaksanaan pilgub Jatim sangat
penting dilakukan dalam rangka meminimalisir golput. Minimalnya Sosialisasi di jawa timur dikarenakan kurangnya anggaran untuk sosialisasi kepada masyarakat luas.

c.       Faktor Politik
Adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik
masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percayaan dengan pasangan calon /tidak mempunyai pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pilgub akan membawa perubahan yang signifikan. Kondisi inilah yang membuat masyarakat untuk tidak mengunakan hak pilihnya
          Sigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat Jawa Timur terhadap politik sehingga membuat masyarakat engan untuk mengunakan hak pilihnya.
          Politik pragmatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat dan sebagian masyarakat menjual belikan suaranya demi uang.
            Angka golput masyarakat di Jawa Timur masih tergolong tinggi di tahun 2013 meskipun angka ini menurun di bandingkan pilgub 2008, namun demikian angka golput di tahun 2013 masih menyentuh 36,62% dari DPT yang di keluarkan KPU, angka ini masih tergolong tinggi mengingat data pemilih tetap (DPT) penduduk jawa timur yang menyentuh 1,726 juta penduduk. Seharusnya pemerintah dan KPU bekerja sama menyukseskan PILGUB Jawa Timur dengan mensosialisasikan pilgub ke seluruh daerah jawa timur mulai dari perkotaan sampai dengan pedesaan, dan memberikan sosialisasi kepada masyarakat jawa timur meskipun mereka tidak terdaftar di DPT mereka dapat menyalurkan aspirasinya dengan cara datang ke TPS dan menunjukan KTP.
            Seharusnya masyarakat juga menyadari bahwa PILGUB Jawa Timur 2013 menentukan masa depan Jawa Timur dalam lima tahun ke depan dan ke mana arah pembangunan Jawa Timur. Masyarakat seharusnya lebih menyadari bahwa suara mereka menentukan siapa yang akan memimpin Jawa Timur, dengan ikut menyukseskan dan ikut serta dalam pesta demokrasi berarti masyarakat sudah melaksanakan haknya sebagai warga negara dan masyarakat berhak menuntut janji gubernur terpilih pada saat kampanye dulu.
            Sebagai gubernur  terpilih, seharusnya gubernur melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan melaksanakan janji-janji politik saat kampanye agar masyarakat tidak merasa ditipu dan masyarakat tidak alergi akan pemilu sehingga angka golput dapat ditekan sekecilnya di wilayah Jawa Timur.


[1] Bismar Rianto, analis penyebab masyarakat tidak memilih dalam pemilu, jurnal ilmu politik dan pemerintahan:2011, 53
[2] Fadilat putra, partai politik dan agenda transisi demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)104
[3] http://ustadzsbu.blogspot.com/2009/03/hukum-partisipasi-politik-dan-golput.html (minggu,29 Desember 2013, 08.26)
[4] http://www.tempo.co/read/news/2013/09/04/078510391/angka-golput-pilgub-jawa-timur-di-jember-tinggi.html (minggu,29 Desember 2013, 09.26)
[5] Arbi Sanit, aneka pandangan fenomena politik golput (Jakarta: pustaka sinar harapan,1992)